CERMIN
DALAM AIR MATA
-nn-
Tuhan, jika belas
kasih-Mu tidak ku dapat hari ini, jika kebaikan-Mu untuk menyelipkan
kembali lembar putih dalam hitam, dan jika saat itu Kau tak mengindahkan
permintaanku. Aku tak mengerti, akan
seperti apakah panorama bukit bintang yang bersinar menampakkan
keperkasaannya ?. Akan menjadi apakah waktu yang berdetak menggoreskan
belati di setiap hela nafasku ?.
Sungguh
Tuhan, sampaikan kepada bidadariku disana, sampaikan padanya, bahwa sesal
ini takkan kunjung reda hingga asa menjemput, sesal ini takkan berujung,
hanya lantunan lirih kalimat suci yang dapat ku ukir di setiap gelap
menyelimuti kepingan nirwana. Hanya dawai yang menjadi saksi bisu. Hingga
saat ini, detik ini, seluruh penjuru menjadi saksi setia bahwa cintaku
untuknya takkan pernah terpatri oleh waktu.
Tuhan..
tolong sampaikan salamku untuknya. Beliau cermin dalam air mata bagiku.
Selalu dan untuk selamanya ..
***
|
Lipatan kertas yang tersusun
disamping gadis itu
dilipat hingga menutupi hijaunya rerumputan Bukit Bintang kala itu. Disini, di
Bukit Bintang, tempat yang penuh dengan kenangan bagi seorang gadis
berperawakan semampai nan lugu itu menggantungkan harapannya. Harapan yang
datang setelah asa melengkapi pahatan hari-harinya. Sebuah rasa syukur yang
tidak henti diucapkannya dalam setiap kedip mata memandang dunia ini. Rasa
syukur yang berujung pada semangat yang menggelora, mengganti lembar hitam
menjadi putih. Gadis itu kemudian menerbangkan semua lipatan surat burung
kertas yang dikaitkan bersama balon-balon pancaran hati yang berwarna-warni.
Berharap doa dan harapan tersebut sampai pada yang dituju. Yakni Sang Maha
Penunjuk Segalanya.
“Aku akan terus berharap, dan takkan
ku sia-siakan anugerah-Mu dalam indahnya kepingan nirwana yang hingga saat ini
bisa kurasakan dan kuraba
berkat bidadari, pahlawan dan cermin air mata itu”.
***
“Isi tempayan itu hingga penuh, lalu
kau ambil pesanan pada Wak Dirham, dan berikan pada Ais seperti biasanya agar
ia cepat mengantarkannya. Jangan lupa persediaan air kita untuk minggu ini
sudah habis”. Suara lirih nan pilu itu hampir setiap hari memenuhi celah-celah
dinding bambu beratapkan rotan tersebut. Alunan melodi yang harus dan mau tak
mau selalu didengar Biru untuk menyambung rantai-rantai kehidupan demi ia dan
adik-adiknya. Memang rantai kehidupan semenjak
peristiwa kelabu tersebut terjadi, roda perekonomian Lembah Ngarai Sianok berubah
drastis. Semua orang, tidak memandang tua-muda, laki-laki-perempuan dituntut
untuk kembali menggerakkan roda perekonomian yang sempat terhenti tersebut.
“Sang Penguasa Siang” mulai menampakkan semburat jingga menghapuskan pekatnya
langit. Saat itu seruan Sang maha Pemilik Hati berdengung. Namun aktivitas di
sebuah rumah –lebih tepatnya disebut seperti gubuk- sudah dimulai lama sebelum
suara dari surau berdengung. Aktivitas yang menjadi sarapan sehari-hari bagi
keluarga kecil yang tetap bertahan ditengah deru derai sesak manusia di Lembah
Ngarai Sianok.
“Tapi
bukankah kemarin mamak menyuruh Ais untuk tidak pergi mengantar bunga itu ?.
Bagaimana jika ia marah kepadaku karena tugas yang mendadak seperti ini ?”.
Rajuk gadis sulung di rumah kecil nan mungil itu.
“Beritahukan
padanya, nanti mamak akan berikan ia uang tambahan. Mamak tidak bisa mengambilnya
sendiri pada Wak Dirham, pekerjaan di kota lebih menjanjikan untuk dijalani.
Selagi mamak bisa sendiri, mamak tidak akan menyuruh Ais untuk menggantikanku
!”. Tanpa sedikitpun memandang sang gadis yang sedang berbicara, wanita
setengah baya tersebut tampak sibuk dengan segala perangkat mengajarnya. Bersiap
menjemput nafas kehidupan selanjutnya.
Ibu Julaikha, itulah nama perempuan setengah baya
berumur 43 tahun. Hidup menjadi pemeran ganda dalam panggung sandiwara
kehidupan ini tidaklah mudah. Membanting tulang, memeras keringat hanya untuk
kelangsungan hidup ketiga buah hati tercintanya.
“Apa
harus sepagi ini berangkat mamak ? tidak bisa menunggu Alina dan Jingga
terbangun ?. Agar mereka tak mencari mamak layak seperti anak ayam yang
kehilangan induknya?”. Putri sulungnya meledek sang ibunda yang sedari tadi
terlihat sangat serius mempersiapkan segalanya.
“Tidak,
katakan saja pada mereka, mamak ke kota untuk urusan yang sangat penting dan
tak bisa ditunda lagi. Jangan lupa ambil air untuk mereka mandi ya mbun. Doakan
mamakmu ini, agar banyak orang yang bisa berguna bagi bangsa ini berkat peran
mamak di kota nanti”. Tetap pandangannya tak lepas dari barang-barang yang
sejak tadi dipersiapkannya. Si sulung hanya mengangguk tak mengerti apa yang dimaksud.
Berjuta tanda tanya muncul begitu saja. Sang bunda hanya terdiam seribu bahasa.
***
“Mamak
berangkat ya mbun, jaga adikmu baik-baik selama mamak berada di kota.”
“Iya
mak, Biru akan melaksanakan amanah mamak, hati-hati ya mak, kabarkan jika sudah
sampai di kota kepada Ais ya mak”. Rona kekhawatiran terpancar dan tak bisa
disembunyikan oleh putri sulungnya tersebut.
Rasa was-was dan ketakutan mendera dirinya. Kata
sebagian orang, hidup di kota sangatlah keras. Ia takut mamak tidak kuat
menjalaninya. Wajah perkotaan yang begitu menakutkan terbayang seketika di
benaknya. Namun semua rasa itu harus ia singkirkan, mengingat kepergian mamak
demi merubah nasib roda perekonomian keluarga mereka. Semenjak kemarau
berkepanjangan tahun lalu, Desa Lambah, Lembah Ngarai Sianok yang berada di
perbatasan Bukittinggi, Sumatera Barat tidak menampakkan keramahan hatinya.
Semua tanaman dan hasil bumi yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakat
sekitar, habis seketika dilalap oleh si jago merah. Akibat dari kenaikan suhu
dari musim kemarau tersebut. Hari ini untuk pertama kalinya, ibu Julaikha pergi
mengadu nasib di perkotaan untuk memperbaiki hidup keluarganya.
***
“Kak,
aku lapar. Mamak kemana saja kak ? kok nggak pulang-pulang ?”. Wajah itu penuh
harap, berharap dalam rintihannya terdapat kabar menyenangkan yakni ada
sepiring nasi dan lauk-pauknya.
“Nanti
ya Alina sayang, kakak akan berusaha mendapatkan makanan, kakak pergi dulu ya.
Tetap baik-baik dengan kak Jingga ya”.
Sulung dari tiga bersaudara itupun pergi menjajakan
hasil kebun mereka. Yakni bunga mawar merah dan putih hasil panen mereka
sebelum mamak pergi. Mamak selalu mengajarkan kepada Biru agar ia pandai
bercocok tanam, guna melanjutkan usaha turun temurun neneknya. Dan jika ia
suatu saat nanti mamak dipanggil keharibaan-Nya, mamak tidak khawatir karena
telah memberikan Biru bekal ilmu yang bisa membantunya menyambung rantai
kehidupan. Itu yang selalu Biru ingat dan membuatnya tersadar akan kerasnya
hidup dan segalanya membutuhkan perjuangan. Menyeberang dari satu desa ke desa
yang lain tidaklah mudah. Jalan Lembah Ngarai Sianok sudah semakin menyempit
terkikis oleh zaman. Biru Nada Embun, gadis berusia delapan belas tahun yang
menjadi tulang punggung bagi kedua adik-adiknya, mencoba ikhlas menjalani peran
yang selama ini mamak jalankan. Merelakan hari-hari masa mudanya terbuang oleh
aktivitas yang mau tak mau harus dijalaninya. Menunggu kepulangan ibu Julaikha
dari kota serasa begitu lama. Biru tak mengerti, apa yang dikerjakan mamaknya
selama ini di kota. Jikalau pertanyaan itu terlontar darinya, mamak hanya
menjawab bahwa dirinya mengajar. Mengajar ? semudah itukah mengajar ? di kota ?
bukankah butuh keterampilan dan pendidikan yang tinggi ?. Namun lagi-lagi prasangka
buruk yang terlintas berusaha ia tepiskan jauh-jauh.
“Mbak,
mbak !!”. Suara itu mengejutkannya, membuyarkan semua lamunannya untuk segera
kembali ke dunia nyata.
“Iya,
maaf kenapa ya mas ?”. Wajah itu seketika bingung.
“Mbak
menjual bunga kan ? Saya mau beli semuanya mbak”. Mendengar kata-kata itu
seperti mendapat mimpi di siang bolong. Biasanya seharian berkeliling, dagangan
bunganya hanya terjual sebanyak tiga tangkai dan paling banyak tujuh tangkai,
sedangkan sisanya harus ia bawa pulang. Tetapi sekarang dua puluh lima tangkai
habis terjual semua.
Biru sangat bersyukur karena hari ini Tuhan berbaik
hati padanya, dan ia menyesal mengapa ia sempat membayangkan hal yang
tidak-tidak mengenai ibunda tercintanya. Langkah kaki itupun semakin ringan
untuk melangkah pulang ke rumah. Dengan berjuta rasa syukur dan kegembiraan
yang membuncah, Biru ingi membaginya kepada kedua adik-adiknya.
“Itu
lho, masa nggak pernah tau sih, ibu janda beranak dua itu yang katanya ke kota
untuk pergi mengajar. Lha, dipikir aja
bu, emangnya semudah itu mengajar di kota ? apalagi pendidikannya yang yang
nggak seberapa tinggi-tinggi amat lah. Paling-paling kerjanya ya jadi wanita
yang begitu deh bu, ngerti kan ?”.
Kerumuman ibu-ibu yang berkumpul di pinggir gubuk itu
sibuk membicarakan perempuan di Desa Lambah yang dua minggu lalu memutuskan
untuk mengadu nasib di perkotaan. Meski ia tahu resikonya pasti akan membuat
warga sekitar heboh. Karena bagi penduduk Desa Lambah, Lembah Ngarai Sianok,
merupakan hal yang tabu pergi keluar desa mencari pekerjaan. Karena penduduk
desa percaya bahwa semua yang ada di lembah Ngarai Sianok bisa dimanfaatkan dan
dibudidayakan untuk kebutuhan hidup. Namun sejak peristiwa satu tahun lalu
menimpa desa mereka, warga hanya bisa berpasrah menunggu dan menanti alam akan
berbaik hati pada mereka sesuai apa yang dikatakan oleh leluhur mereka.
“Iya, masih ingat kan peristiwa lima bulan yang lalu,
itu lho si Wina yang pergi ke kota, terus apa ?. Eh taunya pulang ke desa
tubuhnya kurus kering dan bawa anak pula, nggak tau deh itu anak siapa terus
langsung bisa beli rumah sendiri, dan kehidupannya berubah drastis”.
“Iya juga ya, berarti dia emang bukannya cuma kerja
biasa ya ? tapi kerja yang …ihh serem deh, mendingan saya nggak pernah ke kota
daripada begitu nanti jadinya”.
“Ssssttt ada anaknya”. Seketika riuh suara ibu-ibu itu
terhenti tatkala Biru melintasi gubuk kecil itu. Dengan kepala menunduk menahan
linangan putih bening itu, ia terus berjalan. Rasa gembira, rasa syukur dan
senyuman yang sejak tadi terus menghiasi wajah mungilnya, seketika sirna sudah.
***
Jakarta, 25
Desember 2005
“Kita
harus saling menghormati antar sesama manusia, karena kalian tau ?. Tuhan
menciptakan makhluknya bermacam-macam dan semuanya itu memiliki perbedaan. Ada
yang tau bagaimana lagu balonku ?”. Suara riuh seketika memenuhi tempat itu.
Kemudian hening menyusul penjelasan selanjutnya.
“Balon
dalam lagu tersebut berwarna-warni bukan ?. Ada warna hijau, kuning, kelabu,
merah muda dan biru. Nah kalau warnanya hanya satu, hijau semua misalnya.
Berarti lirik dalam lagu tersebut bukan “rupa-rupa warnanya” namun “serupa
warnanya”. Dengan demikian warna yang bermacam-macam tersebut menjadikan balon
lebih indah. Begitupun dengan manusia, banyak perbedaan namun itulah yang
membuat hidup ini lebih indah dan berwarna”.
***
Sang
Penguasa Siang telah kembali pada peraduannya, gulita malam mulai menyelimuti
Lembah Ngarai Sianok. Surau-surau mulai mengumandangkan panggilan suci nan
merdu. Segelintir aktivitas dihentikan demi menghadap Sang Maha hidup.
“Jingga,
ajak adikmu mengambil air wudhu, kita shalat bersama”. Perintah sang kakak
segera diindahkan oleh Jingga, ia segera menggandeng Alina ke belakang . Setelah
semuanya selesai, Biru, Jingga, dan Alina melaksanakan shalat bersama. Banyak
harapan yang tertambatkan pada malam itu. Deru, haru bercampur penat serta rasa
kesal menjadi satu. Semua ia tumpahkan kepada-Nya. Butiran bening itu tak kuasa
ia bendung jika mengingat kejadian tadi siang. Ia butuh seseorang yang bisa
memberikan saran, memberikan ketenangan disaat pikirannya kacau seperti ini.
Ya, ia membutuhkannya. Rasa sesak di dadanya sudah tak kuasa ia bendung.
***
Berteman
sepi bermandikan gemintang disertai hembusan angin di Bukit Bintang . Gadis itu
terdiam, merenungi semuanya. Biru Nada Embun menunggu sahabatnya, Aditya
Al-Farizi atau biasa yang disapa Ais. Tidak berapa lama, Ais pun datang dengan senyuman
yang menghiasi wajahnya. Seketika itu pula semua keluh kesahnya ia keluarkan.
Dimulai dari kekhawatirannya tentang mamak, omongan warga desa tentang mamak,
sampai semua rasa kesal yang ia rasakan tentang hidup ini. Selama Biru
bercerita, Ais hanya diam, ia menjadi pendengar yang baik. Setelah diberikan
kesempatan untuk berbicara, barulah ia memulai untuk menyejukkan suasana yang
mulai gelap oleh amarah sahabatnya itu.
“Nadchan,
aku mengerti apa yang kamu rasakan, aku juga mungkin akan kesal dengan hinaan
dan cacian seperti itu, apalagi itu sudah menyangkut ibu. Namun alangkah
baiknya jika hal itu kau tanyakan langsung pada mamak. Ini silahkan”. (Sambil
memberikan telepon genggamnya). Ais tak banyak bicara, namun ia bisa sekejap
membuat sebagian amarah sahabatnya mereda. Tak menunggu waktu lebih lama,
Nadchan –panggilan kesayangan Ais untuk Biru- menekan nomer telepon mamak. Satu
menit berlalu tak ada jawaban. Namun ia tak pantang menyerah demi mendapatkan
kebenaran itu.
“Assalamualaikum”
sapa orang di seberang.
“Wa’alaikumsalam”
balasnya. Tanpa berbasa-basi karena semua rasa penatnya sudah mencapai titik
maksimum. Penantian penuh harapnya selama ini tak kunjung membuahkan hasil,
sudah lima bulan mamak berada di kota, namun sepeserpun uang belum pernah
dikirimkannya ke rumah. Biru terpaksa harus membanting tulang untuk menghidupi
kebutuhan adik-adiknya. Ketika rasa semangat itu membuncah demi mencari sesuap
nasi, ketika harapan itu selalu ia gantungkan demi melihat senyum menghiasi
wajah adik-adik tercinta dan ketika sebuah kata selalu tertanam kokoh di
hatinya “kerja keras, dan jangan pernah
menyerah. Karena kesuksesan berada pada diri setiap orang, kita hanya bertugas
membangunkannya agar kesuksesan itu berada pada dunia nyata”. Kata-kata
yang menjadi seruan penuh semangat. Kata-kata yang terlontar dari mamak, mampu
meruntuhkan tingginya dinding pesimis dalam dirinya. Namun seketika hati itu
kian rapuh, dinding kepercayaan itu membuat jarak yang nyata antara ia dan
mamak. Biru mencurigai mamak tidak pulang selama lima bulan karena bekerja yang
tak halal.
“Oh
jadi karena itu kau menelepon mamak malam-malam begini ?. Biru Nada Embun anak
mamak, apapun yang orang lain katakan, tetap percaya pada hatimu. Mamak disini
mencari uang untuk kau dan adik-adikmu. Apapun kata orang, jangan hiraukan
mereka. Biarlah mereka berkata sesuka hatinya, kau tak boleh membenci mereka
ya. Jika kau ingin mencari kebenaran, tanyakan pada hati kecilmu, insya allah,
itu takkan pernah salah”.
“Iya
maafkan mbun mamak, mbun sudah tak mempercayai mamak. Mbun tunggu kepulangan
mamak”. Seketika itu pembicaraan keduanya berakhir. Meskipun penjelasan mamak
tadi mendatangkan banih kepercayaan di hati Biru, namun rasa khawatir itu tetap
ada. Dan pelajaran yang ia dapatkan hari ini , betapapun banyak orang yang
tidak suka dengan kita, namun kita tidak berhak membencinya. Karena benci hanya
akan mengotori segumpal daging yang putih bersih ini. Ya, semua pelajaran itu
ia dapatkan dari mamak.
***
Ketika Sang Surya mulai beranjak dari singgasananya,
menyibak langit dan muncul dari celah-celah lereng ngarai dengan cahaya
menyilaukan, atmosfer kebahagiaan terpancar dari rumah kecil yang sering
disebut gubuk di Desa Lambah, Lembah Ngarai Sianok. Ya, pagi ini tiga
bersaudara tersebut sudah bersiap menyambut kedatangan mamak mereka yang sudah
lima bulan ini pergi meninggalkan mereka.
“Assalamualaikum”.
Suara itu sangat khas terdengar oleh penghuni rumah tersebut.
“Wa’alaikumsalam”.
Seruan salam itu disambut gembira oleh penghuni rumah.
Hari ini mamak pulang dari pekerjaannya di kota,
melepas rindu kepada buah hati tercintanya. Ia memberikan segala kebutuhan yang
selama lima bulan ini belum terpenuhi bagi anak-anaknya. Tas baru, baju baru,
serta peralatan sekolah baru. Bahkan mamak sudah membelikan sepeda untuk Jingga
dan Alina, agar mereka tak akan terlambat lagi jika pergi ke sekolah. Raut
wajah kegembiraan terpancar di semua anggota keluarga kala itu. Guratan letih
dan lelah di wajah mamak seakan sirna sudah oleh senyum di wajah buah hatinya.
Kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia. Selama lima bulan mengadu nasib di
kota tidaklah mudah. Namun semua itu terbayarkan sudah dengan senyuman riang
dari anak-anaknya. Tidak pada putri sulungnya, kegembiraan yang adik-adiknya
rasakan tidak menjalar pada dirinya. Masih ada rasa cemas menggelantung dalam
hatinya. Entah rasa cemas seperti apa yang ia rasakan.
Sehari bersama mamak tidaklah mampu membendung rasa
rindu yang dirasa ketiga anak-anaknya. Karena tuntutan pekerjaan, mamak tidak
bisa tinggal lebih lama lagi. Keesokan harinya mamak harus sudah kembali ke
kota. Waktu pada malam ini tidak disia-siakan oleh ketiga anaknya terlebih si
kecil Alina yang sangat merindukan belaian kasih sang bunda.
Malam semakin pekat, tak memberikan ruang kepada
bintang untuk bersinar pada bentangan luasnya layar hitam itu. Biru terbangun
ditengah keheningan sunyinya malam. Mengambil air wudhu ingin bersimpuh
menghadap Sang Maha Hidup. Memohon petunjuk-Nya berharap ditunjukkan jalan yang
lurus. Diteguhkan hatinya agar prasangka buruk itu tak membayang di benaknya.
“Amin”.
Suara itu mengejutkan Biru dari lantunan doanya, dari larutnya ia dalam
linangan bening yang membasahinya.
“Ah,
mamak. Mengapa belum tidur mak ? bukankah mamak akan pergi ke kota esok
pagi-pagi sekali ?”.
“Iya,
namun entah mengapa mamak rindu dan sangat rindu padamu mbun. Mamak ingin
berpesan apapun yang terjadi, jangan pernah kau tinggalkan adik-adikmu. Dan
selalu menjadi orang yang rendah hati bagaimanapun kondisimu nanti. Adikmu,
Jingga dan Alina, butuh teladan yang baik, jadilah guru bagi mereka. Betapapun
kerasnya kehidupan ini, jika kita menjalaninya dengan ikhlas, maka semua akan
terasa nikmat. Jangan lupa untuk senantiasa bersyukur kepada Sang Maha Hidup.
Karena tanpa belas kasih-Nya kita takkan ada di dunia ini. Ingat mbun, dunia
ini hanya persinggahan sementara bagi kita”. Mamak memberikan nasihatnya
panjang lebar kepada Biru, ia sangat sayang kepada Biru. Terlebih dari ia
menyayangi dirinya sendiri. Bagi mamak, melihat senyum pada wajah anak-anaknya
merupakan kesuksesan yang ia capai. Karena betapapun kebahagiaan yang ia dapat
tanpa anak-anaknya ikut merasakan tidaklah sempurna.
***
Pagi menjelang, berganti dengan malam yang mengesankan
bagi keluarga Ibu Julaikha. Indahnya Lembah Ngarai Sianok di pagi hari seindah
hati Biru Nada Embun. Walau kepergian mamak kali ini ke kota terasa berat bagi
ketiga anak-anaknya terutama Biru dan si bungsu Alina. Karena berkat nasihat
mamak tadi malam, ia mampu membangun dinding kepercayaan yang begitu kokoh di
hatinya. Dan semua kata-kata itu akan ia tanamkan sampai kapanpun.
“Mamak, hati-hati ya dijalan. Kabarkan kami jika sudah
di kota”. Raut kesedihan menghiasi ketiga buah hatinya. Berat, jujur berat
sekali bagi mamak meninggalkan buah hatinya tanpa dirinya. Entah mengapa hari
ini ia ingin lebih berlama-lama tinggal di Lembah Ngarai Sianok yang memberikan
sejuta pelajaran dan senyum baginya. Ah, tapi mamak orang yang sangat
profesional. Karena LSM di kota Jakarta mmembutuhkannya hari ini juga, maka ia
rela meninggalkan anak-anak demi pekerjaan walaupun berat.
“Iya, assalamualaikum, mamak sayang kalian semua. Jaga
adikmu baik-baik ya mbun”.
Sambil mengecup kening ketiga buah hatinya, mamak
pergi meninggalkan Desa Lambah, Lembah Ngarai Sianok.
***
“Ais
!! Ais !! Ais !!”. Suara itu begitu panik terdengar.
“Ada
apa Nadchan ?”. Raut wajah Ais terlihat tampak bingung dengan pemandangan di
depannya. Malam sudah terlalu larut bagi seorang gadis berkeliaran saat ini.
Namun kini, dihadapannya, Nadchan, sahabat baiknya basah kuyup penuh peluh
dengan nafas tersenggal-senggal.
“Antarkan
aku ke kota sekarang ! ke Jakarta !!”
“Untuk
apa ? malam-malam begini ?”. Wajah Ais semakin bingung.
“Sudah,
jangan banyak bertanya. Ini semua menyangkut mamak!!”.
Seketika tanpa banyak bicara, Ais langsung melaju
mengendarai motor dengan kecepatan tinggi menuju kota. Jalan di Lembah Ngarai
Sianok yang masih terjal menyulitkannya untuk melaju lebih cepat lagi. Setelah
menghabiskan waktu cukup lama berkutat dengan arena yang curam dan terjal, dua
sahabat itupun sampai di kota. Di tempat yang dituju. Di jalan kota Jakarta
tepatnya di pinggir Jalan Ir.H. Juanda. Sekerumunan orang berkumpul entah
membicarakan apa dan melihat apa. Biru dan Ais segera mendekati kerumunan orang
tersebut, segera mengenali sosok yang menjadi pembicaraan ditengah-tengah
kerumunan tersebut.
***
“Biru,
yang sabar ya nak, Wawak akan menjagamu dan adik-adikmu selalu. Katakan saja
bila butuh sesuatu. Jangan sungkan”. Kata-kata Wak Dirham menambah haru suasana
saat itu. namun ia tahu, ia harus tetap tegar demi adik-adiknya. Biru tak ingin
menampakkan raut wajah kesedihannya. Walaupun ia tahu, ia tahu ini sangatlah
berat. Menahan linangan putih bening itu disaat kehilangan orang yang kita
cintai tidaklah mudah. Membutuhkan suatu energi yang besar untuk tetap tegar
menghadapi semuanya. Ia hanya ingin menangis pada pangkuan-Nya. Tidak disini,
tidak di depan adik-adiknya. Ya, ia harus tegar, ia harus kuat. Karena demi
melihat senyum mamak disana. Bangga karena anak sulungnya bisa mengikuti
jejaknya. Yakni tegar terhadap masalah apapun yang dihadapinya. Meskipun hari
itu menjadi hari yang sangat kelabu bagi ia dan adik-adiknya.
***
Jakarta, 17
Agustus 2010
“Apakah
kalian tau anak-anak mengapa warna balon dalam lagu balonku berwarna-warni dan
tidak hanya satu warna ?”. Wanita berperawakan tinggi semampai dengan senyum
yang terus mengembang itu semangat menjelaskan.
“Aku
tau ibu guru !!”. Seru seorang anak dengan lantang
“Iya,
coba sebutkan Alika ?”. Reaksi sang Ibu Guru menambah semangat para murid-murid
untuk lebih belajar dengan giat. Di tempat ini, meskipun jauh dari kata mewah
dan jauh dari kata layak. Namun semangat para anak-anak yang menuntut ilmu
tidak kalah dengan semangat anak-anak yang belajar dengan fasilitas mewah nan
elit di kota tersebut. Dan pada hari ini wanita muda itu berjanji untuk
mengabdikan dirinya kepada bangsa , untuk mencerdaskan anak bangsa yang tak
bisa manjamah manisnya pendidikan formal seperti kebanyakan anak-anak lainnya
yang mengecap manisnya pendidikan fornal. Ya, bertempat di salah satu kolong
jembatan kota Jakarta, Biru Nada Embun berjanji. Layaknya mengucap sumpah setia
65 tahun silam.
***
“Alina,
katakan pada karyawan yang baru saja pulang tadi, ada pesanan menunggu untuk
diantar. Sebuah bucket bunga mawar merah dan ungu ke Jalan Harmoni.26 Blok A.
Katakan juga padanya hati-hati dalam membawa bunga tersebut. Karena aku tak
ingin mendengar complaint dari
pelanggan kita”
“Oke
sip kak”.
Semerbak harum menyeruak kala pintu florist tersebut
terbuka. Suasana penuh senyum selalu ditemui ketika pelanggan datang. “FLORIST
BUKIT BINTANG” . Selalu bersinar dipenuhi senyum yang indah dari kedua kakak
beradik yang mengelolanya. Serta semua karyawan yang bekerja termasuk sang
kepala staff pemasaran , Aditya Al-Farizi.
***
Dibawah kolong langit yang membentangkan indahnya pagi
dengan berjuta sinar menerobos masuk gumpalan putih, seorang wanita termanggu
menatap alam semesta. Tak henti bersyukur telah memiliki seorang pahlawan
sekaligus bidadari dalam hidupnya. Sejak kepergian sang bunda 5 tahun silam
akibat kecelakaan yang merenggutnya saat akan menjalankan tugasnya di kota,
tugas yang mulia yang selama ini tak pernah diketahui oleh anak-anaknya. Bekerja
mengabdi di bawah kolong jembatan, bergabung dengan LSM Jakarta untuk mendidik
anak-anak berkekurangan mental (SLB), dan menjadi penyapu jalanan pada sore
harinya merupakan hal yang tak mudah. Hinaan demi hinaan serta cacian yang
mamak terima, tidaklah menyurutkan langkahnya untuk terus mengabdikan dirinya
pada dunia pendidikan. Walaupun ia hanya menjadi guru pembantu yang gajinya tak
seberapa besar bila dibanding dengan pekerjaan lainnya yang biasa ia kerjakan.
Namun karena melihat keprihatinan bangsa ini. Melihat anak-anak yang kurang
mampu belum bisa mengecap manisnya pendidikan, dan anak-anak yang memiliki
keterbelakangan mental yang selalu hanya dipandang sebelah mata. Mamak mencoba
merubah paradigma itu semua.
Biru
Nada Embun, anak sulung dari tiga bersaudara tersebut mengetahui itu semua
setelah kepala pengelola LSM tempat mamak bekerja menceritakan semuanya. Rasa
kagum dan haru yang begitu besar membumbung tinggi dalam benaknya. Rasa
bersalah terhadap almarhumah yang takkan berujung, tatkala semua prasangka
buruk itu bersarang pada dirinya tanpa mau membuka mata hati untuk melihat
kebenaran. Sejak saat itu Biru mengajak kedua adik-adiknya pindah ke kota untuk
meneruskan pekerjaan mamak yang sempat tertunda karena kepergian almarhumah ke
keharibaan-Nya. Biru memutuskan untuk mengabdikan dirinya seperti mamak dahulu.
Bahkan berkat kerja kerasnya selama ini, ia mampu mendirikan taman bacaan
“Ngarai Sianok” yang terinspirasi dari tempat tinggalnya selama ini. Ia ingin
benar-benar mencerdaskan anak bangsa dan
membudayakan membaca sejak dini agar
bangsa ini bisa maju dan tidak tertinggal oleh kemajuan zaman yang semakin
canggih.
Tidak
mau kalah dengan rencana yang sudah dijalankan kakaknya, kedua adiknya pun
meneruskan usaha menjual bunga dari hasil perkebunan mereka di Desa Lambah,
Lembah Ngarai Sianok. “FLORIST BUKIT BINTANG” itulah nama toko bunga milik
mereka. Dengan bantuan Ais yang memasok bunga langsung dari Desa Lambah, bisnis
itupun semakin lancar dan semakin bersinar seperti Bukit Bintang di Lembah
Ngarai Sianok.
Semua
keberhasilan itu tak lepas dari semua nasihat mamak yang selalu ia berikan
kepada anak-anaknya. Motivasi mamak yang mempunyai efek yang begitu besar mampu
membangunkan selimut mimpi yang berada dalam masing-masing angan anak-anaknya
menjadi sebuah realitas yang nyata.
***
Setelah
semua burung kertas tersebut terbang bersama balon-balon yang berwarna-warni,
sebungkah doa pun dipanjatkan dan sepucuk harapan digantungkan oleh ketiga
gadis jelita tersebut.
Selalu aku
layangkan doa untukmu disana mamak.
Semoga
engkau tahu, kami disini merindukan pelukanmu seperti dulu.
Terkadang memang melalui air mata dan rasa sakit, kita
menjadi paham tentang sebuah arti pengorbanan, keikhlasan juga kehilangan.
Itulah yang dipelajarai oleh ketiga bersaudara ini. Menjalani hidup dengan
ikhlas dan tidak mudah menyerah. Tidak mudah membenci orang lain hanya karena
mereka menyakiti kita. Tidak menodai hati dengan goresan hitam berkat rasa iri.
Meneruskan semua perjuangan mamak, agar bisa membuat orang lain bermanfaat bagi
nusa dan bangsa.
Terimakasih
mamak, karenamu kami memahami air mata. Dan karena engkau pula kami memahami arti
kehidupan yang sesungguhnya, tidak hanya menerima melainkan memberi.