Jumat, 22 Juni 2012

Cermin dalam Air Mata :)


CERMIN DALAM AIR MATA
-nn-
Tuhan, jika belas kasih-Mu tidak ku dapat hari ini, jika kebaikan-Mu untuk menyelipkan kembali lembar putih dalam hitam, dan jika saat itu Kau tak mengindahkan permintaanku. Aku tak mengerti, akan seperti apakah panorama bukit bintang yang bersinar menampakkan keperkasaannya ?. Akan menjadi apakah waktu yang berdetak menggoreskan belati di setiap hela nafasku ?.
            Sungguh Tuhan, sampaikan kepada bidadariku disana, sampaikan padanya, bahwa sesal ini takkan kunjung reda hingga asa menjemput, sesal ini takkan berujung, hanya lantunan lirih kalimat suci yang dapat ku ukir di setiap gelap menyelimuti kepingan nirwana. Hanya dawai yang menjadi saksi bisu. Hingga saat ini, detik ini, seluruh penjuru menjadi saksi setia bahwa cintaku untuknya takkan pernah terpatri oleh waktu.
            Tuhan.. tolong sampaikan salamku untuknya. Beliau cermin dalam air mata bagiku. Selalu dan untuk selamanya ..
***
             Lipatan kertas yang tersusun disamping gadis itu dilipat hingga menutupi hijaunya rerumputan Bukit Bintang kala itu. Disini, di Bukit Bintang, tempat yang penuh dengan kenangan bagi seorang gadis berperawakan semampai nan lugu itu menggantungkan harapannya. Harapan yang datang setelah asa melengkapi pahatan hari-harinya. Sebuah rasa syukur yang tidak henti diucapkannya dalam setiap kedip mata memandang dunia ini. Rasa syukur yang berujung pada semangat yang menggelora, mengganti lembar hitam menjadi putih. Gadis itu kemudian menerbangkan semua lipatan surat burung kertas yang dikaitkan bersama balon-balon pancaran hati yang berwarna-warni. Berharap doa dan harapan tersebut sampai pada yang dituju. Yakni Sang Maha Penunjuk Segalanya.
            “Aku akan terus berharap, dan takkan ku sia-siakan anugerah-Mu dalam indahnya kepingan nirwana yang hingga saat ini bisa kurasakan dan kuraba berkat bidadari, pahlawan dan cermin air mata itu”.
***
            “Isi tempayan itu hingga penuh, lalu kau ambil pesanan pada Wak Dirham, dan berikan pada Ais seperti biasanya agar ia cepat mengantarkannya. Jangan lupa persediaan air kita untuk minggu ini sudah habis”. Suara lirih nan pilu itu hampir setiap hari memenuhi celah-celah dinding bambu beratapkan rotan tersebut. Alunan melodi yang harus dan mau tak mau selalu didengar Biru untuk menyambung rantai-rantai kehidupan demi ia dan adik-adiknya. Memang rantai kehidupan semenjak peristiwa kelabu tersebut terjadi, roda perekonomian Lembah Ngarai Sianok berubah drastis. Semua orang, tidak memandang tua-muda, laki-laki-perempuan dituntut untuk kembali menggerakkan roda perekonomian yang sempat terhenti tersebut. “Sang Penguasa Siang” mulai menampakkan semburat jingga menghapuskan pekatnya langit. Saat itu seruan Sang maha Pemilik Hati berdengung. Namun aktivitas di sebuah rumah –lebih tepatnya disebut seperti gubuk- sudah dimulai lama sebelum suara dari surau berdengung. Aktivitas yang menjadi sarapan sehari-hari bagi keluarga kecil yang tetap bertahan ditengah deru derai sesak manusia di Lembah Ngarai Sianok.
            “Tapi bukankah kemarin mamak menyuruh Ais untuk tidak pergi mengantar bunga itu ?. Bagaimana jika ia marah kepadaku karena tugas yang mendadak seperti ini ?”. Rajuk gadis sulung di rumah kecil nan mungil itu.
          “Beritahukan padanya, nanti mamak akan berikan ia uang tambahan. Mamak tidak bisa mengambilnya sendiri pada Wak Dirham, pekerjaan di kota lebih menjanjikan untuk dijalani. Selagi mamak bisa sendiri, mamak tidak akan menyuruh Ais untuk menggantikanku !”. Tanpa sedikitpun memandang sang gadis yang sedang berbicara, wanita setengah baya tersebut tampak sibuk dengan segala perangkat mengajarnya. Bersiap menjemput nafas kehidupan selanjutnya.
Ibu Julaikha, itulah nama perempuan setengah baya berumur 43 tahun. Hidup menjadi pemeran ganda dalam panggung sandiwara kehidupan ini tidaklah mudah. Membanting tulang, memeras keringat hanya untuk kelangsungan hidup ketiga buah hati tercintanya. 
            “Apa harus sepagi ini berangkat mamak ? tidak bisa menunggu Alina dan Jingga terbangun ?. Agar mereka tak mencari mamak layak seperti anak ayam yang kehilangan induknya?”. Putri sulungnya meledek sang ibunda yang sedari tadi terlihat sangat serius mempersiapkan segalanya.
            “Tidak, katakan saja pada mereka, mamak ke kota untuk urusan yang sangat penting dan tak bisa ditunda lagi. Jangan lupa ambil air untuk mereka mandi ya mbun. Doakan mamakmu ini, agar banyak orang yang bisa berguna bagi bangsa ini berkat peran mamak di kota nanti”. Tetap pandangannya tak lepas dari barang-barang yang sejak tadi dipersiapkannya. Si sulung hanya mengangguk tak mengerti apa yang dimaksud. Berjuta tanda tanya muncul begitu saja. Sang bunda hanya terdiam seribu bahasa.
***
            “Mamak berangkat ya mbun, jaga adikmu baik-baik selama mamak berada di kota.”
            “Iya mak, Biru akan melaksanakan amanah mamak, hati-hati ya mak, kabarkan jika sudah sampai di kota kepada Ais ya mak”. Rona kekhawatiran terpancar dan tak bisa disembunyikan oleh putri sulungnya tersebut.
Rasa was-was dan ketakutan mendera dirinya. Kata sebagian orang, hidup di kota sangatlah keras. Ia takut mamak tidak kuat menjalaninya. Wajah perkotaan yang begitu menakutkan terbayang seketika di benaknya. Namun semua rasa itu harus ia singkirkan, mengingat kepergian mamak demi merubah nasib roda perekonomian keluarga mereka. Semenjak kemarau berkepanjangan tahun lalu, Desa Lambah, Lembah Ngarai Sianok yang berada di perbatasan Bukittinggi, Sumatera Barat tidak menampakkan keramahan hatinya. Semua tanaman dan hasil bumi yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitar, habis seketika dilalap oleh si jago merah. Akibat dari kenaikan suhu dari musim kemarau tersebut. Hari ini untuk pertama kalinya, ibu Julaikha pergi mengadu nasib di perkotaan untuk memperbaiki hidup keluarganya.
***
            “Kak, aku lapar. Mamak kemana saja kak ? kok nggak pulang-pulang ?”. Wajah itu penuh harap, berharap dalam rintihannya terdapat kabar menyenangkan yakni ada sepiring nasi dan lauk-pauknya.
            “Nanti ya Alina sayang, kakak akan berusaha mendapatkan makanan, kakak pergi dulu ya. Tetap baik-baik dengan kak Jingga ya”.
Sulung dari tiga bersaudara itupun pergi menjajakan hasil kebun mereka. Yakni bunga mawar merah dan putih hasil panen mereka sebelum mamak pergi. Mamak selalu mengajarkan kepada Biru agar ia pandai bercocok tanam, guna melanjutkan usaha turun temurun neneknya. Dan jika ia suatu saat nanti mamak dipanggil keharibaan-Nya, mamak tidak khawatir karena telah memberikan Biru bekal ilmu yang bisa membantunya menyambung rantai kehidupan. Itu yang selalu Biru ingat dan membuatnya tersadar akan kerasnya hidup dan segalanya membutuhkan perjuangan. Menyeberang dari satu desa ke desa yang lain tidaklah mudah. Jalan Lembah Ngarai Sianok sudah semakin menyempit terkikis oleh zaman. Biru Nada Embun, gadis berusia delapan belas tahun yang menjadi tulang punggung bagi kedua adik-adiknya, mencoba ikhlas menjalani peran yang selama ini mamak jalankan. Merelakan hari-hari masa mudanya terbuang oleh aktivitas yang mau tak mau harus dijalaninya. Menunggu kepulangan ibu Julaikha dari kota serasa begitu lama. Biru tak mengerti, apa yang dikerjakan mamaknya selama ini di kota. Jikalau pertanyaan itu terlontar darinya, mamak hanya menjawab bahwa dirinya mengajar. Mengajar ? semudah itukah mengajar ? di kota ? bukankah butuh keterampilan dan pendidikan yang tinggi ?. Namun lagi-lagi prasangka buruk yang terlintas berusaha ia tepiskan jauh-jauh.
            “Mbak, mbak !!”. Suara itu mengejutkannya, membuyarkan semua lamunannya untuk segera kembali ke dunia nyata.
            “Iya, maaf kenapa ya mas ?”. Wajah itu seketika bingung.
            “Mbak menjual bunga kan ? Saya mau beli semuanya mbak”. Mendengar kata-kata itu seperti mendapat mimpi di siang bolong. Biasanya seharian berkeliling, dagangan bunganya hanya terjual sebanyak tiga tangkai dan paling banyak tujuh tangkai, sedangkan sisanya harus ia bawa pulang. Tetapi sekarang dua puluh lima tangkai habis terjual semua.
Biru sangat bersyukur karena hari ini Tuhan berbaik hati padanya, dan ia menyesal mengapa ia sempat membayangkan hal yang tidak-tidak mengenai ibunda tercintanya. Langkah kaki itupun semakin ringan untuk melangkah pulang ke rumah. Dengan berjuta rasa syukur dan kegembiraan yang membuncah, Biru ingi membaginya kepada kedua adik-adiknya.
            “Itu lho, masa nggak pernah tau sih, ibu janda beranak dua itu yang katanya ke kota untuk pergi mengajar. Lha, dipikir aja bu, emangnya semudah itu mengajar di kota ? apalagi pendidikannya yang yang nggak seberapa tinggi-tinggi amat lah. Paling-paling kerjanya ya jadi wanita yang begitu deh bu, ngerti kan ?”.
Kerumuman ibu-ibu yang berkumpul di pinggir gubuk itu sibuk membicarakan perempuan di Desa Lambah yang dua minggu lalu memutuskan untuk mengadu nasib di perkotaan. Meski ia tahu resikonya pasti akan membuat warga sekitar heboh. Karena bagi penduduk Desa Lambah, Lembah Ngarai Sianok, merupakan hal yang tabu pergi keluar desa mencari pekerjaan. Karena penduduk desa percaya bahwa semua yang ada di lembah Ngarai Sianok bisa dimanfaatkan dan dibudidayakan untuk kebutuhan hidup. Namun sejak peristiwa satu tahun lalu menimpa desa mereka, warga hanya bisa berpasrah menunggu dan menanti alam akan berbaik hati pada mereka sesuai apa yang dikatakan oleh leluhur mereka.
“Iya, masih ingat kan peristiwa lima bulan yang lalu, itu lho si Wina yang pergi ke kota, terus apa ?. Eh taunya pulang ke desa tubuhnya kurus kering dan bawa anak pula, nggak tau deh itu anak siapa terus langsung bisa beli rumah sendiri, dan kehidupannya berubah drastis”.
“Iya juga ya, berarti dia emang bukannya cuma kerja biasa ya ? tapi kerja yang …ihh serem deh, mendingan saya nggak pernah ke kota daripada begitu nanti jadinya”.
“Ssssttt ada anaknya”. Seketika riuh suara ibu-ibu itu terhenti tatkala Biru melintasi gubuk kecil itu. Dengan kepala menunduk menahan linangan putih bening itu, ia terus berjalan. Rasa gembira, rasa syukur dan senyuman yang sejak tadi terus menghiasi wajah mungilnya, seketika sirna sudah.
***

Jakarta, 25 Desember 2005
            “Kita harus saling menghormati antar sesama manusia, karena kalian tau ?. Tuhan menciptakan makhluknya bermacam-macam dan semuanya itu memiliki perbedaan. Ada yang tau bagaimana lagu balonku ?”. Suara riuh seketika memenuhi tempat itu. Kemudian hening menyusul penjelasan selanjutnya.
            “Balon dalam lagu tersebut berwarna-warni bukan ?. Ada warna hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Nah kalau warnanya hanya satu, hijau semua misalnya. Berarti lirik dalam lagu tersebut bukan “rupa-rupa warnanya” namun “serupa warnanya”. Dengan demikian warna yang bermacam-macam tersebut menjadikan balon lebih indah. Begitupun dengan manusia, banyak perbedaan namun itulah yang membuat hidup ini lebih indah dan berwarna”.
***
            Sang Penguasa Siang telah kembali pada peraduannya, gulita malam mulai menyelimuti Lembah Ngarai Sianok. Surau-surau mulai mengumandangkan panggilan suci nan merdu. Segelintir aktivitas dihentikan demi menghadap Sang Maha hidup.
            “Jingga, ajak adikmu mengambil air wudhu, kita shalat bersama”. Perintah sang kakak segera diindahkan oleh Jingga, ia segera menggandeng Alina ke belakang . Setelah semuanya selesai, Biru, Jingga, dan Alina melaksanakan shalat bersama. Banyak harapan yang tertambatkan pada malam itu. Deru, haru bercampur penat serta rasa kesal menjadi satu. Semua ia tumpahkan kepada-Nya. Butiran bening itu tak kuasa ia bendung jika mengingat kejadian tadi siang. Ia butuh seseorang yang bisa memberikan saran, memberikan ketenangan disaat pikirannya kacau seperti ini. Ya, ia membutuhkannya. Rasa sesak di dadanya sudah tak kuasa ia bendung.
***
            Berteman sepi bermandikan gemintang disertai hembusan angin di Bukit Bintang . Gadis itu terdiam, merenungi semuanya. Biru Nada Embun menunggu sahabatnya, Aditya Al-Farizi atau biasa yang disapa Ais. Tidak berapa lama, Ais pun datang dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. Seketika itu pula semua keluh kesahnya ia keluarkan. Dimulai dari kekhawatirannya tentang mamak, omongan warga desa tentang mamak, sampai semua rasa kesal yang ia rasakan tentang hidup ini. Selama Biru bercerita, Ais hanya diam, ia menjadi pendengar yang baik. Setelah diberikan kesempatan untuk berbicara, barulah ia memulai untuk menyejukkan suasana yang mulai gelap oleh amarah sahabatnya itu.
            “Nadchan, aku mengerti apa yang kamu rasakan, aku juga mungkin akan kesal dengan hinaan dan cacian seperti itu, apalagi itu sudah menyangkut ibu. Namun alangkah baiknya jika hal itu kau tanyakan langsung pada mamak. Ini silahkan”. (Sambil memberikan telepon genggamnya). Ais tak banyak bicara, namun ia bisa sekejap membuat sebagian amarah sahabatnya mereda. Tak menunggu waktu lebih lama, Nadchan –panggilan kesayangan Ais untuk Biru- menekan nomer telepon mamak. Satu menit berlalu tak ada jawaban. Namun ia tak pantang menyerah demi mendapatkan kebenaran itu.
            “Assalamualaikum” sapa orang di seberang.
            “Wa’alaikumsalam” balasnya. Tanpa berbasa-basi karena semua rasa penatnya sudah mencapai titik maksimum. Penantian penuh harapnya selama ini tak kunjung membuahkan hasil, sudah lima bulan mamak berada di kota, namun sepeserpun uang belum pernah dikirimkannya ke rumah. Biru terpaksa harus membanting tulang untuk menghidupi kebutuhan adik-adiknya. Ketika rasa semangat itu membuncah demi mencari sesuap nasi, ketika harapan itu selalu ia gantungkan demi melihat senyum menghiasi wajah adik-adik tercinta dan ketika sebuah kata selalu tertanam kokoh di hatinya “kerja keras, dan jangan pernah menyerah. Karena kesuksesan berada pada diri setiap orang, kita hanya bertugas membangunkannya agar kesuksesan itu berada pada dunia nyata”. Kata-kata yang menjadi seruan penuh semangat. Kata-kata yang terlontar dari mamak, mampu meruntuhkan tingginya dinding pesimis dalam dirinya. Namun seketika hati itu kian rapuh, dinding kepercayaan itu membuat jarak yang nyata antara ia dan mamak. Biru mencurigai mamak tidak pulang selama lima bulan karena bekerja yang tak halal.
            “Oh jadi karena itu kau menelepon mamak malam-malam begini ?. Biru Nada Embun anak mamak, apapun yang orang lain katakan, tetap percaya pada hatimu. Mamak disini mencari uang untuk kau dan adik-adikmu. Apapun kata orang, jangan hiraukan mereka. Biarlah mereka berkata sesuka hatinya, kau tak boleh membenci mereka ya. Jika kau ingin mencari kebenaran, tanyakan pada hati kecilmu, insya allah, itu takkan pernah salah”.
            “Iya maafkan mbun mamak, mbun sudah tak mempercayai mamak. Mbun tunggu kepulangan mamak”. Seketika itu pembicaraan keduanya berakhir. Meskipun penjelasan mamak tadi mendatangkan banih kepercayaan di hati Biru, namun rasa khawatir itu tetap ada. Dan pelajaran yang ia dapatkan hari ini , betapapun banyak orang yang tidak suka dengan kita, namun kita tidak berhak membencinya. Karena benci hanya akan mengotori segumpal daging yang putih bersih ini. Ya, semua pelajaran itu ia dapatkan dari mamak.
***
Ketika Sang Surya mulai beranjak dari singgasananya, menyibak langit dan muncul dari celah-celah lereng ngarai dengan cahaya menyilaukan, atmosfer kebahagiaan terpancar dari rumah kecil yang sering disebut gubuk di Desa Lambah, Lembah Ngarai Sianok. Ya, pagi ini tiga bersaudara tersebut sudah bersiap menyambut kedatangan mamak mereka yang sudah lima bulan ini pergi meninggalkan mereka.
            “Assalamualaikum”. Suara itu sangat khas terdengar oleh penghuni rumah tersebut.
            “Wa’alaikumsalam”. Seruan salam itu disambut gembira oleh penghuni rumah.
Hari ini mamak pulang dari pekerjaannya di kota, melepas rindu kepada buah hati tercintanya. Ia memberikan segala kebutuhan yang selama lima bulan ini belum terpenuhi bagi anak-anaknya. Tas baru, baju baru, serta peralatan sekolah baru. Bahkan mamak sudah membelikan sepeda untuk Jingga dan Alina, agar mereka tak akan terlambat lagi jika pergi ke sekolah. Raut wajah kegembiraan terpancar di semua anggota keluarga kala itu. Guratan letih dan lelah di wajah mamak seakan sirna sudah oleh senyum di wajah buah hatinya. Kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia. Selama lima bulan mengadu nasib di kota tidaklah mudah. Namun semua itu terbayarkan sudah dengan senyuman riang dari anak-anaknya. Tidak pada putri sulungnya, kegembiraan yang adik-adiknya rasakan tidak menjalar pada dirinya. Masih ada rasa cemas menggelantung dalam hatinya. Entah rasa cemas seperti apa yang ia rasakan.
Sehari bersama mamak tidaklah mampu membendung rasa rindu yang dirasa ketiga anak-anaknya. Karena tuntutan pekerjaan, mamak tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Keesokan harinya mamak harus sudah kembali ke kota. Waktu pada malam ini tidak disia-siakan oleh ketiga anaknya terlebih si kecil Alina yang sangat merindukan belaian kasih sang bunda.
Malam semakin pekat, tak memberikan ruang kepada bintang untuk bersinar pada bentangan luasnya layar hitam itu. Biru terbangun ditengah keheningan sunyinya malam. Mengambil air wudhu ingin bersimpuh menghadap Sang Maha Hidup. Memohon petunjuk-Nya berharap ditunjukkan jalan yang lurus. Diteguhkan hatinya agar prasangka buruk itu tak membayang di benaknya.
            “Amin”. Suara itu mengejutkan Biru dari lantunan doanya, dari larutnya ia dalam linangan bening yang membasahinya.
            “Ah, mamak. Mengapa belum tidur mak ? bukankah mamak akan pergi ke kota esok pagi-pagi sekali ?”.
            “Iya, namun entah mengapa mamak rindu dan sangat rindu padamu mbun. Mamak ingin berpesan apapun yang terjadi, jangan pernah kau tinggalkan adik-adikmu. Dan selalu menjadi orang yang rendah hati bagaimanapun kondisimu nanti. Adikmu, Jingga dan Alina, butuh teladan yang baik, jadilah guru bagi mereka. Betapapun kerasnya kehidupan ini, jika kita menjalaninya dengan ikhlas, maka semua akan terasa nikmat. Jangan lupa untuk senantiasa bersyukur kepada Sang Maha Hidup. Karena tanpa belas kasih-Nya kita takkan ada di dunia ini. Ingat mbun, dunia ini hanya persinggahan sementara bagi kita”. Mamak memberikan nasihatnya panjang lebar kepada Biru, ia sangat sayang kepada Biru. Terlebih dari ia menyayangi dirinya sendiri. Bagi mamak, melihat senyum pada wajah anak-anaknya merupakan kesuksesan yang ia capai. Karena betapapun kebahagiaan yang ia dapat tanpa anak-anaknya ikut merasakan tidaklah sempurna.
***
Pagi menjelang, berganti dengan malam yang mengesankan bagi keluarga Ibu Julaikha. Indahnya Lembah Ngarai Sianok di pagi hari seindah hati Biru Nada Embun. Walau kepergian mamak kali ini ke kota terasa berat bagi ketiga anak-anaknya terutama Biru dan si bungsu Alina. Karena berkat nasihat mamak tadi malam, ia mampu membangun dinding kepercayaan yang begitu kokoh di hatinya. Dan semua kata-kata itu akan ia tanamkan sampai kapanpun.
“Mamak, hati-hati ya dijalan. Kabarkan kami jika sudah di kota”. Raut kesedihan menghiasi ketiga buah hatinya. Berat, jujur berat sekali bagi mamak meninggalkan buah hatinya tanpa dirinya. Entah mengapa hari ini ia ingin lebih berlama-lama tinggal di Lembah Ngarai Sianok yang memberikan sejuta pelajaran dan senyum baginya. Ah, tapi mamak orang yang sangat profesional. Karena LSM di kota Jakarta mmembutuhkannya hari ini juga, maka ia rela meninggalkan anak-anak demi pekerjaan walaupun berat.
“Iya, assalamualaikum, mamak sayang kalian semua. Jaga adikmu baik-baik ya mbun”.
Sambil mengecup kening ketiga buah hatinya, mamak pergi meninggalkan Desa Lambah, Lembah Ngarai Sianok.
***
            “Ais !! Ais !! Ais !!”. Suara itu begitu panik terdengar.
            “Ada apa Nadchan ?”. Raut wajah Ais terlihat tampak bingung dengan pemandangan di depannya. Malam sudah terlalu larut bagi seorang gadis berkeliaran saat ini. Namun kini, dihadapannya, Nadchan, sahabat baiknya basah kuyup penuh peluh dengan nafas tersenggal-senggal.
            “Antarkan aku ke kota sekarang ! ke Jakarta !!”
            “Untuk apa ? malam-malam begini ?”. Wajah Ais semakin bingung.
            “Sudah, jangan banyak bertanya. Ini semua menyangkut mamak!!”.
Seketika tanpa banyak bicara, Ais langsung melaju mengendarai motor dengan kecepatan tinggi menuju kota. Jalan di Lembah Ngarai Sianok yang masih terjal menyulitkannya untuk melaju lebih cepat lagi. Setelah menghabiskan waktu cukup lama berkutat dengan arena yang curam dan terjal, dua sahabat itupun sampai di kota. Di tempat yang dituju. Di jalan kota Jakarta tepatnya di pinggir Jalan Ir.H. Juanda. Sekerumunan orang berkumpul entah membicarakan apa dan melihat apa. Biru dan Ais segera mendekati kerumunan orang tersebut, segera mengenali sosok yang menjadi pembicaraan ditengah-tengah kerumunan tersebut.
***
            “Biru, yang sabar ya nak, Wawak akan menjagamu dan adik-adikmu selalu. Katakan saja bila butuh sesuatu. Jangan sungkan”. Kata-kata Wak Dirham menambah haru suasana saat itu. namun ia tahu, ia harus tetap tegar demi adik-adiknya. Biru tak ingin menampakkan raut wajah kesedihannya. Walaupun ia tahu, ia tahu ini sangatlah berat. Menahan linangan putih bening itu disaat kehilangan orang yang kita cintai tidaklah mudah. Membutuhkan suatu energi yang besar untuk tetap tegar menghadapi semuanya. Ia hanya ingin menangis pada pangkuan-Nya. Tidak disini, tidak di depan adik-adiknya. Ya, ia harus tegar, ia harus kuat. Karena demi melihat senyum mamak disana. Bangga karena anak sulungnya bisa mengikuti jejaknya. Yakni tegar terhadap masalah apapun yang dihadapinya. Meskipun hari itu menjadi hari yang sangat kelabu bagi ia dan adik-adiknya. 
***
Jakarta, 17 Agustus 2010
            “Apakah kalian tau anak-anak mengapa warna balon dalam lagu balonku berwarna-warni dan tidak hanya satu warna ?”. Wanita berperawakan tinggi semampai dengan senyum yang terus mengembang itu semangat menjelaskan.
            “Aku tau ibu guru !!”. Seru seorang anak dengan lantang
            “Iya, coba sebutkan Alika ?”. Reaksi sang Ibu Guru menambah semangat para murid-murid untuk lebih belajar dengan giat. Di tempat ini, meskipun jauh dari kata mewah dan jauh dari kata layak. Namun semangat para anak-anak yang menuntut ilmu tidak kalah dengan semangat anak-anak yang belajar dengan fasilitas mewah nan elit di kota tersebut. Dan pada hari ini wanita muda itu berjanji untuk mengabdikan dirinya kepada bangsa , untuk mencerdaskan anak bangsa yang tak bisa manjamah manisnya pendidikan formal seperti kebanyakan anak-anak lainnya yang mengecap manisnya pendidikan fornal. Ya, bertempat di salah satu kolong jembatan kota Jakarta, Biru Nada Embun berjanji. Layaknya mengucap sumpah setia 65 tahun silam.
***
            “Alina, katakan pada karyawan yang baru saja pulang tadi, ada pesanan menunggu untuk diantar. Sebuah bucket bunga mawar merah dan ungu ke Jalan Harmoni.26 Blok A. Katakan juga padanya hati-hati dalam membawa bunga tersebut. Karena aku tak ingin mendengar complaint dari pelanggan kita”
            “Oke sip kak”.
Semerbak harum menyeruak kala pintu florist tersebut terbuka. Suasana penuh senyum selalu ditemui ketika pelanggan datang. “FLORIST BUKIT BINTANG” . Selalu bersinar dipenuhi senyum yang indah dari kedua kakak beradik yang mengelolanya. Serta semua karyawan yang bekerja termasuk sang kepala staff pemasaran , Aditya Al-Farizi.
***
Dibawah kolong langit yang membentangkan indahnya pagi dengan berjuta sinar menerobos masuk gumpalan putih, seorang wanita termanggu menatap alam semesta. Tak henti bersyukur telah memiliki seorang pahlawan sekaligus bidadari dalam hidupnya. Sejak kepergian sang bunda 5 tahun silam akibat kecelakaan yang merenggutnya saat akan menjalankan tugasnya di kota, tugas yang mulia yang selama ini tak pernah diketahui oleh anak-anaknya. Bekerja mengabdi di bawah kolong jembatan, bergabung dengan LSM Jakarta untuk mendidik anak-anak berkekurangan mental (SLB), dan menjadi penyapu jalanan pada sore harinya merupakan hal yang tak mudah. Hinaan demi hinaan serta cacian yang mamak terima, tidaklah menyurutkan langkahnya untuk terus mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Walaupun ia hanya menjadi guru pembantu yang gajinya tak seberapa besar bila dibanding dengan pekerjaan lainnya yang biasa ia kerjakan. Namun karena melihat keprihatinan bangsa ini. Melihat anak-anak yang kurang mampu belum bisa mengecap manisnya pendidikan, dan anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental yang selalu hanya dipandang sebelah mata. Mamak mencoba merubah paradigma itu semua.
            Biru Nada Embun, anak sulung dari tiga bersaudara tersebut mengetahui itu semua setelah kepala pengelola LSM tempat mamak bekerja menceritakan semuanya. Rasa kagum dan haru yang begitu besar membumbung tinggi dalam benaknya. Rasa bersalah terhadap almarhumah yang takkan berujung, tatkala semua prasangka buruk itu bersarang pada dirinya tanpa mau membuka mata hati untuk melihat kebenaran. Sejak saat itu Biru mengajak kedua adik-adiknya pindah ke kota untuk meneruskan pekerjaan mamak yang sempat tertunda karena kepergian almarhumah ke keharibaan-Nya. Biru memutuskan untuk mengabdikan dirinya seperti mamak dahulu. Bahkan berkat kerja kerasnya selama ini, ia mampu mendirikan taman bacaan “Ngarai Sianok” yang terinspirasi dari tempat tinggalnya selama ini. Ia ingin benar-benar  mencerdaskan anak bangsa dan membudayakan  membaca sejak dini agar bangsa ini bisa maju dan tidak tertinggal oleh kemajuan zaman yang semakin canggih.
            Tidak mau kalah dengan rencana yang sudah dijalankan kakaknya, kedua adiknya pun meneruskan usaha menjual bunga dari hasil perkebunan mereka di Desa Lambah, Lembah Ngarai Sianok. “FLORIST BUKIT BINTANG” itulah nama toko bunga milik mereka. Dengan bantuan Ais yang memasok bunga langsung dari Desa Lambah, bisnis itupun semakin lancar dan semakin bersinar seperti Bukit Bintang di Lembah Ngarai Sianok.
            Semua keberhasilan itu tak lepas dari semua nasihat mamak yang selalu ia berikan kepada anak-anaknya. Motivasi mamak yang mempunyai efek yang begitu besar mampu membangunkan selimut mimpi yang berada dalam masing-masing angan anak-anaknya menjadi sebuah realitas yang nyata.

***
            Setelah semua burung kertas tersebut terbang bersama balon-balon yang berwarna-warni, sebungkah doa pun dipanjatkan dan sepucuk harapan digantungkan oleh ketiga gadis jelita tersebut.
Selalu aku layangkan doa untukmu disana mamak.
Semoga engkau tahu, kami disini merindukan pelukanmu seperti dulu.
Terkadang memang melalui air mata dan rasa sakit, kita menjadi paham tentang sebuah arti pengorbanan, keikhlasan juga kehilangan. Itulah yang dipelajarai oleh ketiga bersaudara ini. Menjalani hidup dengan ikhlas dan tidak mudah menyerah. Tidak mudah membenci orang lain hanya karena mereka menyakiti kita. Tidak menodai hati dengan goresan hitam berkat rasa iri. Meneruskan semua perjuangan mamak, agar bisa membuat orang lain bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
Terimakasih mamak, karenamu kami memahami air mata. Dan karena engkau pula kami memahami arti kehidupan yang sesungguhnya, tidak hanya menerima melainkan memberi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar